perbedaannya adalah kalau perang timbung menggunakan timbung sebagai media saling menyerang sedangkan topat menggunakan topat (ketupat) untuk saling menyerang.
Selain dari khazanah budaya sasak perang timung merupakan sebuah upacara sebagai upaya Tolak bala pada masa jaman kerajaan pejanggiq dulu yang masih dilakukan sampai saat ini. Perang timbung ini berawal dari Hasil Persemedian (Tapa Brata/berhaluat) dari Raja Pejanggik yakni Datu Dewa Mas Pemban Aji Meraja Kusuma yang saat itu kerajaan Pejanggik Sedang dalam keadaan tidak harmonis dengan kerajaan selaparang. Hasil persemedian itu yakni akan terjadi petaka yang dahsyat dan keruntuhan,
baginda raja mengakhiri haluatnya dengan memanggil seluruh pemating, punggawa kerajaan dan pandite para normal untuk mentakbir hidayah yang datang pada persemedian Raja. dibutuhkan waktu berhari-hari untuk membahas hasil dari semedi raja tersebut dan dilakukanlah Gondem oleh semua perkanggo kerajaan.
Disaat Gondem dilakukan muncul seorang pandite Sepuh yang mengajukan usul kepada baginda Raja. Pandite sepuh tersebut berkata "Hamba mohon ampure jika hamba tidak dipersalahkan, hamba ingin menyampaikan suatu pendapat untuk menyikapi petunjuk yang bainda peroleh dari Haluwat," apa gerangan yang akan disampaikan pandite? Kata raja
kemudian pandite menjawab, "Hamba tidak akan berlebihan, bahwa sesuatu itu adalah rahmat, dan rahmat senantiasa diturunkan oleh Allah selalu dengan hikmahnya, demikian pula jika hal ini adalah sebuah penyakit, maka Allah akan menurunkan penawarnya, Ampun baginda, hamba terlalu lancang.
Tidak mengapa, silahkan diteruskan paman kata raja. Pandite melanjutkan " demi keberlangsungan gumi paer atau kerajaan pejanggiq dan langgengnya kekuasan baginda, kiranya apa yang akan terjadi di negeri ini akan kita antisipasi dengan tumbal, dan tumbal disini bukan berarti mengorbankan sesuatu yang sangat berlebihan, akan tetapi dalam hal ini baginda cukup dengan bertitah kepeda segenap kawula bala kerajaan penjanggiq untuk melakukan ritual Tolak Balaq dan membuat jajan pelemeng (Timbung) yang terbuat dari dari Beras Pulut/ ketan yang dicampur dengan perasan santan kental dan dibungkus dengan bilah bambu. dan usul dari pendite tersebut di kabulkan oleh baginda raja. dan Gondem tersebut diakhiri oleh baginda Raja.
Sang Rajapun memerintahkan untuk di adakannya Penimbungan, beliau bertitah kepada para Punggawa kerajaan agar semua mengerahkan seluruh kawula masyarakat Pejanggiq yaitu upacara perang Timbung/Penimbungan sebagai wujud inplementasi keputusan gondem. dengan segera kemudian para punggawa memukul kentongan (Kul-kul) sebagai pertanda adanya dedawuhan dari kerajaan, dengan kul-kul semua kalawarga masyarakat gumi paer pejanggiq ketika itu berduyun-duyun mendatangi Lendang galuh yang dulu berfungsi sebagi alun-alun untuk menerima titah Datu, datupun berinstruksi lansung kepada khalayak dengan titahnya "Wahai saudara-saudaku yang aku cintai, ketahuilah bahwa pada suatu saat nanti, kerajaan pejanggiq ini akan mengalami bencana perpecahan dan berakibat kepada keruntuhan kerajaan yang timbul dari dalam Negeri ini sendiri. melalui kesempatan ini, aku titahkan kepada kita semua agar melaksanakan sebuah upacara ritual sebagai upaya ansipasi agar tidak terjadinya bencana itu. dengan cara membuat timbung untuk bahan dari upacara tersebut sebagai wujud persembahan kita kepada sang pencipta, santuni Anak-anak Yatim/piatu, sayangi orang-orang tua jompo dan perkuat kebersamaan melalui silaturrahmi diantara kita semua. upacara ini hendaknya dilakukan dan jangan sekali-kali melakukan ritual ini pada hari jum'at minggu terakhir pada bulan bersangkutan. sabda Raja adalah Sabda Pandite, sabda Pandite adalah andika mulia apapun yang dititahkan Raja maka segenap kalwarga kerajaan pejanggiq akan senantiasa melaksankannya, pantang jika perintah Raja itu ditolak atau tidak dilaksanakan maka itu adalah perbuatan melawan Tabu (pemali) apalagi perintah ritual seperti ini.
demikianlah cerita singkat dari Perang Timbung ini. Perang tersebut masih dilaksanakan oleh masyarakat pejanggiq dan sekitarnya di Makam Seriwe pejanggiq, masyarakat sekitar pun sering menjadikan moment itu juga untuk mengambil air di lubang bekas tongkat Datu Pejanggik dulu yang dipercaya sebagai obat untuk segala penyakit padi dan kesuburan tanah.
Pstka: berbagai sumber
0 Komentar